Kamis, 22 Oktober 2009

Catatan Seorang Kadi

Ia memang hanya bisa duduk.
Telinganya lebih sering digunakan daripada lidahnya, begitu pula hatinya.
Orang bilang, ia sudah melihat banyak hal.

Oh, hendaknya ada yang berbuat serong di sana, pada jam itu.
Waktu yang diperlukannya hanya sepintas,
kemudian sebuah palu membentur landasannya.

Lain waktu, hanya sekadar permasalahan kecil,
namun khalayak menyorongkan ke depan hidungnya.
Mereka gila, menyetarakannya laksana piala darah Kristus.
Apakah masalah itu sebuah sebuah pertanda pengakuan dosa?
Ini lebih mudah lagi. Palu itu membentur pada landasannya.

Pernahkah kalian terpikir:
bagaimana kalau Sang Kadi yang tertelan perkara?
Oh, jangan sekali-kali kau harap orang-orang menyelesaikannya.
Mereka bahkan berkata,"Siapa pula Kadi seorang ni?"
"Dan mengapa ia harus datang pada kita tentang masalah dirinya?"

Barangkali, lidah seorang Kadi harus bersih daripada kutuk.
Tapi maafkanlah, ia kini melaknat.

Ai, malang nian Sang Kadi.
Dan orang-orang, bukalah mata kalian?
Tidakkah kalian sadar, bahwa Sang Kadi ini manusia pula?

Malangnya! Orang-orang sungguh telah dibutakan.

Perkenanlah ia di sini sekarang, untuk memohon:
"Ingin rasanya patik dengar bunyi palu untuk patik barang sebuah!"

Palu itu menghantam godamnya
Tidak ubahnya tapak kuda pada ladamnya.
Yang ini tanpa bunga api, sungguhlah.

Oh, haruskah ia muncul pada yang fana?

Syahdan, terselesaikan dengan 'tidak'.
Sang Kadi mendendangkan palu untuk dirinya sendiri.

Wahai Kadi, adakah engkau ini merasakan luka?

Rabu, 21 Oktober 2009

Barbar

Silakan perhatikan tiga pasang frasa di bawah ini:

1) Manusia banyak, (menjadikan)

2) Bumi sesak, (sehingga)

3) Saya MUAK. (berani protes?)

Dari lubuk hati saya yang paling dalam—sekaligus ditambah kejujuran, saya sungguh tidak paham, mengapa hidup saya ini dikelilingi oleh orang-orang barbar. Yeah, kaum brutal yang sudah layak dan sepantasnya musnah bertahun silam, seolah-olah diberi rahmat untuk kembali menurunkan sifat-sifat mereka di kebanyakan manusia yang—sayang sekali, harus hidup, bergerak, berjalan, berbicara di sekitar kehidupan saya. Sayang, dunia ini tidak lebih sesak ketimbang beras dalam genggaman tangan. Mengapakah kalian masih ingin membuatnya lebih memuakkan?

Kemudian, sebutkanlah bahwa saya ini makhluk egois, asosial, tidak mau mengerti perkembangan zaman, kemudian berujung pada kalimat tidak bisa bertoleransi. Oh, mari kita kembalikan pada diri masing-masing: apakah kita semua sudah dengan sukses menghayati apa itu toleransi?

Toleransi = tolerare = ‘membiarkan sesuatu dengan sabar

Maka, timbul pertanyaan sederhana (oh, yang bahkan saya sendiri tidak bisa menjawabnya): Bagaimana kalau saya sudah kehabisan kesabaran?

Perhatikan baik-baik, saya masih tersenyum, saya masih berbicara, saya masih bersedia membantu sepanjang apa yangs aya perbuat itu bisa berguna bagi setidak-tidaknya entitas yang memerlukan. Itu yang namanya toleransi bagi saya untuk saat ini. Membiarkan diri sendiri berbuat suatu sikap yang disadari kerendahan hati, berikut fakta bahwa manusia adalah makhlulk sosial. Done.

Namun, bagaimana seandainya yang saya hadapi itu adalah sesosok makhluk barbar dalam rupa wujud manusia?

Oke, saya tidak lagi sekadar muak, melainkan benci, bahkan sampai mengutuk. Demi apapun yang saya sembah, saya tidak sudi berurusan dengan makhluk barbar lagi untuk seterusnya. Sebutkanlah saya egois, karena tidak bisa beradaptasi dan berbaur dengan orang-orang macam itu. Maka, saya katakan: ya, saya memang egois. Saya tidak mau menerima ada makhluk-makhluk macam itu di bumi, namun sayang sekali keberadaan mereka tidak ubahnya jamur di musim penghujan—berkembang biak sedemikian cepatnya. Maka, saya bisa mensintesis sebuah kesimpulan dari sudut pandang subjektif (perhatikan kata-kata saya ini) bahwa mereka yang bisa berbaur dan menerima keberadaan para barbar adalah mereka yang teberkati oleh Yang Empunya Hidup—lain halnya kalau mereka ternyata sama-sama barbar dan bisa kita beri label dengan tulisan sakit jiwa.

Kemudian, ajukanlah pertanyaan: sikap macam apa yang saya tunjukkan sebagai apresiasi kepada para barbar?

Oh, perhatikanlah. Saya masih mengapresiasi mereka. Tolong, berikan saya tepuk tangan terkeras yang paling mungkin. Saya mengutuk, tapi masih sudi memberi apresiasi. Tidakkah itu pencapaian yang amat-sangat luar biasa?

Maka, jawaban saya adalah: bersimpati dan mengasihani.

Tidak, tidak. Saya sudah lelah mencela—bahkan tanpa harus ditambahkan mengutukpun, dosa sudah menenggelamkan saya sampai sebatas leher, barangkali. Andaikan sebuah perkataan buruk menghadiahkan luka pada mulut, maka saya beritahukan pada anda sebuah kemungkinan bahwa mulut saya boleh jadi sudah bersimbah darah. Hanya bisa menyatakan prihatin. Betapa dalam dunia yang sungguh teratur dan maha-sempurna ini ternyata masih ada golongan yang tersesat: mereka yang tidak pernah mengenal apa itu etika. Nah, kalau etika (yang notabene berasal dari dalam diri) masih diragukan keberadaannya, apa kabar dengan eksistensi etiket?

Saya masih melihat dengan jelas empat ekor entitas barbar yang tadi bermain-main di balik punggung saya tidak ubahnya hewan peliharaan. Orang-orang yang acuh pada suatu hal yang sedang berlangsung (dan merupakan sebuah kewajiban) untuk kemudian menciptakan matahari baru untuk mereka berevolusi. Saudara-saudara, saya katakan sekali lagi, betapa muak saya dengan itu. Bunyi-bunyian nyaring yang tersangkut di rongga tenggorok kalian, perbuatan konyol tak kenal malu yang sampai hati mampir di otak kalian, dan mungkin sederet kenistaan lain yang karena alas an hati nurani tidak layak untuk saya jabarkan secara gamblang ke batang hidung para pembaca yang terhormat.

Saya mohon (bayangkan, saya memohon.) pada anda untuk segera memperbaiki diri, bercermin, mencari akal sehat yang tercecer, sehingga saya tidak perlu merasa risih ketika harus mengatakan bahwa anda memiliki relasi dengan saya—terlebih, agar saya lega menyebut anda bukan dengan embel-embel ekor.

(tawa sinis)

Siapa saya? Ah, saya bukan Tuhan. Saya hanya orang yang merasa bahwa masih punya etika—sekalipun masih jauh dari sempurna, sekaligus sadar betul bahwa saya menghayati etiket.

Maka sayangku, kumpulkan lagi kecerdasan kalian, yah? (:

“Karena sayang, mana yang suka melihat sampah di halaman?” 1) Sigi.2009:1

Lidah. Cabang. Dua.

-------

Sigi, Tiyana. Bersih-Bersih. Jakarta: Wordpress, 2009.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Green Finch and Linnett Birds

Lagu dari film 'Sweeney Todd', tidak lebih. Hanya suka pada cara Jayne Wisener menyanyikannya. Lagunya ada di sana *tunjuk bagian bawah blog*

-------------------------------

Green finch, and linnet bird,
Nightingale, blackbird,
How is it you sing?
How can you jubilate
sitting in cages
never taking wing?
Outside the sky waits
Beckoning!
Beckoning!
Just beyond the bars...

How can you remain
staring at the rain
maddened by the stars?
How is it you sing
anything?
How is it you sing?


My cage has many rooms
damask and dark...
Nothing there sings,
not even my lark.
Larks never will, you know,
when they're captive.
Teach me to be more
adaptive.

Ah...

Green finch, and linnet bird,
nightingale, blackbird,
teach me how to sing.
If I cannot fly...
Let me sing.

----------------------
It is.
If I cannot fly, let me sing :)

lidah.cabang.dua.

(C) Link

Nasi

Iya, nasi.

Satu kata, dua suku kata, empat huruf.

N-A-S-I

Sederhana, tapi begitu krusial ya? Tidak terhitung beberapa kali kita dengar frasa 'beras murah' di masyarakat, yang bisa habis diserbu pembeli dengan jangka waktu lebih cepat dari sebuah sel membelah diri, barangkali.Yah, sekalipun kualitasnya jelek lah, atau apa lah, yang penting orang-orang m********** itu bisa bersantap dengan bahagia--mengubah butir-butir putih nyaris transparan itu menjadi sosok lain yang berlekatan bagai sepasang belut (kalau kandungan glukosanya cukup tinggi alias pulen. huh.) Bertemankan lauk-pauk dengan kualifikasi standar, barangkali. Entah apa cita-citanya yang penting perut telah behasil diberi ganjalan—sebatas agar tidak berteriak riuh-rendah menyuarakan keinginan sel-sel dalam jonjot usus halus mencerna butir-butir makanan yang telah dihaluskan dengan enzim.

Meracau.

Saya hendak meracau. Persetan. Tsche. Paham sekali—sepenuh hati malah, kalau sekarang sedang puasa. Menahan hawa nafsu, katanya. Marah, sedih, senang, dijaga agar tak berlebihan. Menjadi orang yang biasa-biasa saja. Datar. Tarik nafas panjang. Tertawa tidak, tangis enggan bersuara. Seolah-olah duduk diam, tidak ubahnya patung batu di atas altar. Menunggu seseorang menghaturkan persembahan di hadapan kakinya, untuk kemudian disantap setelah mentari bertemankan ufuk barat. Yap, lembayung itu. Dengan pucuk-pucuk masjid riuh akan panggilan shalatnya. Sekarang sudah berubah. Hanya orang-orang dengan keluhan lapar dan dahaga memadati rongga tenggorok mereka. Sudah siap hidangan di depan batang hidung. Sekadar ambil. Tsche. Tuhan tak ciptakan waktu maghrib sekadar untuk menjadi sahabat di bulan puasa. Oh benar. Tentu saja saya ingat. Jangan bicara kesalehan dengan saya, bukan begitu? Betapa saya begitu kafirnya sampai harus segera dilenyapkan bersama entitas-entitas lain di muka bumi ini yang tercipta oleh tangan Sang Kreator Mutlak daripada nyala api—tinggal dan kekal selamanya dalam Hawiyah?

Orang bijak tiada mengeluh, terkatalah demikian adanya. Maka kasihanilah sahaya yang dirundung dukacita ini, paduka. Bukan mengapa, hanya karena sedang berpantang. Pantang, seharusnyalah diawali dengan yang baik, tujuannya baik pula, bukan begitu? Kenyataannya tidak. Semula lapar—berakhir dengan muntah barangkali. Penuh. Kasihani saya, tidak pandai membawa diri. Hanya menurutkan daging, nanti beroleh laknat. Astaga, apa isi paragraf ini? Kehilangan kemampuan menulis? Tipis, tipis. Akhirnya lenyap tidak berbekas lagi.

Butir-butir putih nan lekat itu. Lagi. Disodorkan sellau ke depan batang hidung saya, walaupun dalam hati ingin menampiknya. Tidak bosan mereka-mereka berkata, syukuri itu. Saya bersyukur, lihat? Mengucapkan frasa itu pun sudah. Terserah bagaimana penghayatan masing-masing. Toh mereka yang konon mahir bersyukur kadangkala melontarkan keluhan kan? Tidak baik menerima apa yang ada. Dunia ada, untuk disyukuri, memang. Dan jelaslah bukan untuk diabaikan, tolong. Tidak bisa menutup mata dari fakta yang ada, bahkan sampai bermain-main dalam frekuensi tingkat menjijikkan di pelupuk mata kita.

Dayang-dayang saya, katakanlah begitu, sudah bekerja di rumah saya selama 4 tahun—persetan dengan lebih-kurangnya. Orang mungkin berkata,’Oh, syukurlah ada dayang-dayang. Apa-apa jadi gampang kan?’ G*****, saya bilang. Ya Tuhan, karuniailah mereka dengan sedikit akal sehat dalam buah kenari dalam rongga kepala mereka. Logikanya (sayang sekali perkara macam ini belum pernah berjumpa, atau mendengar kata logika) semua memang pasti beres, bukan begitu? Duduk manis, menikmati apa itu yang telah dikerjakan oleh para dayang-dayang dan kemudian mengucapkan frasa terima kasih atas perbuatan mereka, yang sudah kita ketahui bersama bahwa mereka ‘mendapatkan tunjangan finansial’ (astaga) dari kami, mereka-mereka yang duduk manis dan kemudian menyorongkan frasa terima kasih ke telinga dayang-dayang itu.

Bukan nominalnya yang jadi masalah, sama sekali bukan. Astaga Tuhan, picik nianlah mereka yang berpikir macam itu. Lalu apa? Kepuasan, teman. Hanya itu. Ingin sekali rasa-rasanya tidak lagi menjadi orang yang benar-benar baik hati. Mengucapkan terima kasih dengan tulus (tolong catat dua frasa terakhir) atas apa yang telah mereka perbantukan di dalam hidup kita. Berhenti sekadar mengucapkan dua diksi itu atas formalitas dan melihat tanpa perasaan oh-pekerjaan-mereka-sudah-beres. Tsche.

Tidak cerdas—sudah lazimnya. Mereka yang pandai tak pernah berkenan diposisikan sebagai dayang-dayang. Tapi harusnya itu bukan alasan, bukan begitu? Jalan pikirannya absurd—tak jarang kanak-kanak. Diperintah sekali dan terlupa setelah menarik nafas. Nasi, astaga Tuhan. Makanan pokok katanya, sekalipun dalam rumah ini kenyataannya hanya saya yang bersantap dengan tumbuhan Graminae itu. Hanya satu—bukan prioritas bagi mereka yang kebanyakan pemamah biak, mungkin mendapat karunia enzim selulosa di lambung. Saya normal, yang lain juga. Perlakuannya tidak jauh berbeda. Dari siapa? Mereka yang bercokol di b****-b**** belakang rumah, dan area teritorinya adalah daerah berawalan fonem ‘b’ yang diikuti tanda bintang dan pengulangannya. Tenang, itu kata ulang murni. Macam apakah? Abnormal, saudara-saudara.

Bagi para pemamah biak: sayur (oh, apalagi?). Dikukus, lain tidak. Berulang-ulang, seolah-olah pemamah biak itu tidak ubahnya jarum-jarum yang terbingkai rapi dalam sebuah jam. Tidak bosan sekalipun menempuh arah yang sama.

Bagi saya (normal, sekali lagi): nasi. Sumber perkara tadi, tsche. Berasnya bagus, bukan asal yang tertangkap mata ketika dibeli. Perlakuannya abnormal. Keras. Tidak lebih baik daripada butirannya yang sama, tidak direndam dalam air ataupun diuapi. Sekali lagi, tolong, sama.

Keras. Tuhanku, dari empat tahun mereka bercokol di rumah ini, berapa kali mereka melakukan hal itu? Tiga ratus kali? Lebih. Tsche. Semakin imbisil—lain tidak. Piranti baru, kebiasaan sama. Tergores semua perak-perak dalam lapisan anti-karatnya. Yang berglasir merah juga. Mata sudah tidak melihatnya lagi. Kalau bisa mereka menangis, mungkin sudah meraung-raung sejak tersentuh tangan mereka. Lain waktu, berkelontangan. Butirannya menghambur dan menggores kulit. Darah bersemburan.

Dimana-mana ada keseimbangan, bukan begitu? Satu masuk, yang lain keluar. Satu datang, yang lain pergi. Tidak jauh beda, tsche. Satu tempat terisi, yang lain berhamburan. Syukur bukan salah satu piranti penting, dan sekali lagi, bukan nominalnya, astaga Tuhan. Hanya perkara abstrak nan sederhana berlabelkan ‘tanggung jawab’ dan ‘kehati-hatian’ katanya. Diletakkan di mana suatu hal abstrak itu, saudara-saudara? Tidak terbendakan, seharusnya terpateri sampai akhir zaman dalam buah kenari di kepalamu itu. Tidak lekang oleh waktu terkecuali kau lenyap dalam pergeserannya. Maka bermaklumlah kami.

Ini?

Bocah memang, bukan berarti dimaklumi karena berlaku macam itu. Saya juga masih kecil. 16 tahun, belum tahu hidup sesungguhnya itu yang macam apa. Orang bilang umur saya seharusnya 24 tahun. Terlalu muda kalau 16 tahun. Hanya ada senyum di bibir dan ucapan terima kasih. Saya belum setua itu, tapi saya akan belajar untuk menjadi macam itu.

Renungan standar, bukan begitu? Kecuali tata bahasanya absurd. Jangan dibaca. Nanti pikiran anda tak tentu arahnya. Perkara nasi. Sederhana, namun juga pelik.

Oh, ini cuma untuk saya. Persetan dengan anda :)

Lidah.cabang.dua.

Sabtu, 04 April 2009

Refleksi [Curhatan] Live-In part. 2

Bagian kedua dari tiga buah aria kisah perjalanan Live-In


Pelaksanaan: “Oh, ternyata …”

Yang nyata (dan menyakitkan) saat ada di tempat live-in

Tak kenal, maka tak sayang. Begitu apa kata pepatah. Kata-kata bijak itu ternyata ada benarnya juga. Saya memutuskan untuk menerima semua aturan yang diberikan sekolah. Tetapi, saya memperoleh izin untuk pulang dengan keluarga saya, sebab ada arisan keluarga yang kebetulan bertepatan dengan hari ketika rombongan peserta live-in sampai di Jogjakarta. Semua keperluan live-in sudah saya persiapkan, sekalipun dengan setengah hati. Termasuk dua properti yang saya anggap ‘aneh’ dan ‘tidak biasa’, yakni jas hujan dan sepatu bot. Jas hujan bisa diakali sehingga masuk ke dalam koper. Sepatu botnya? Jangan ditanya.

Sembako adalah komoditi yang wajib dibawa saat live-in. Ini adalah ketentuan yang diberikan dalam buku panduan. Sembako ini akan diberikan kepada keluarga asuh sebagai buah tangan dari Jakarta. Barang bawaan ini ternyata memiliki massa yang cukup besar dan mengambil tempat yang cukup luas. Apa pasal? Beras, gula, dan teh yang dibawa tidak muat untuk dimasukkan ke dalam koper, maupun ransel yang saya bawa. Beratkah? Amat berat, jawaban saya. Terutama beras yang, meskipun dibawa dalam jumlah liter dan bukan kilogram, tetap saja memiliki berat yang tidak sedikit.

Dalam perjalanan ke sekolah, rasanya berat sekali untuk meninggalkan segala bentuk teknologi yang biasanya mengisi hari-hari saya. Terutama telepon selular. Jadilah detik-detik terakhir itu saya isi dengan menggunakan sebaik-baiknya fasilitas yang ada dalam benda mutakhir itu. Setelah dipikir-pikir, tindakan menghabiskan waktu dengan telepon seluler itu ternyata konyol, dan membuat saya lebih individualis. Meskipun ingin mengurangi kebiasaan itu, rasanya sulit sekali, bahkan memikirkan untuk hidup tanpa benda yang satu itu bagaikan orang yang buta dan tuli, bingung dan tidak tahu mau berbuat apa.

Selama menunggu bis berangkat dari sekolah, saya berusaha untuk menghibur diri dan menenangkan jantung berdebar yang tidak kunjung henti. Mulai dari berkeliling melihat-lihat persiapan teman-teman lain, melongok ke berbagai tempat di sekolah, dan meramaikan antrian pengambilan kaos live-in di kelas XI IPS 2. Namun, semua tindakan itu tidak bisa membendung segala pikiran buruk yang datang. Ketakutan dan kecemasan tidak lagi datang dan menguasai pikiran, tapi muncul sedikit demi sedikit, menggerogoti perlahan apa yang sudah saya perbuat untuk menghalau kecemasan. Ini menyiksa batin saya tanpa berkesudahan. Ingin sekali rasanya berpaling dan berkata,”Aku takkan pergi.” Tapi jelas itu tidak mungkin.

Teman sebangku yang menyenangkan merupakan salah satu solusi terbaik yang saya pikirkan. Raissa, teman saat LDK merupakan teman sebangku yang baik. Kami bisa mengobrol dengan santai, mendiskusikan berbagai permasalahan dan saling bertukar pikiran. Selain itu, mereka yang duduk di sekitar bangku kami sangat-sangat bisa menghalau semua kecemasan dan pikiran buruk. Satu-satunya hal yang tetap mengganjal adalah bagaimana kalau tiba-tiba harus ke toilet di tengah-tengah perjalanan. Untunglah guru pendamping dan pengemudi berbelas kasih kepada mereka yang butuh ke toilet. Jadi, bisa dibilang itu bukan masalah.

Sepanjang perjalanan, semua kecemasan yang tadi bermain-main dalam benak saya mendadak merembes keluar dan penuh dipenuhi dengan keceriaan. Yang terdengar dari bangku barisan depan hanyalah teriakan dan tawa Indah Nainggolan, ditingkahi dengan tawa histeris orang-orang di sekitarnya. Ternyata, tawa bisa menghapuskan segala duka yang saya rasakan, dan saya sadar bahwa sungguh tidak enak untuk menyimpan masalah yang kita miliki sendiri, dan menghabiskan waktu berkutat dengan masalah itu. Lebih baik jika melupakannya sejenak untuk mengistirahatkan pikiran, sehingga bisa menemukan jalan keluar yang terbaik.

Di suatu titik kemacetan akibat banjir, kalau tidak salah di Kendal, banjir menyebabkan semua barang yang diletakkan di bagasi harus masuk ke kabin. Semua siswa bekerja sama untuk memindahkan tas, koper, dan carrier dari barisan depan ke tengah-tengah kabin. Kerja sama sungguhlah indah. Semua orang melakukan pekerjaan dengan rendah hati, sehingga tujuan atas pekerjaan itu dapat tercapai. Waktu terus berlalu. Matahari yang tenggelam telah terbit lagi, semakin meninggi, namun kita tak kunjung sampai ke Paroki St. Yusuf, Baturetno. Rencana sampai pukul tujuh pagi, namun rombongan baru sampai pukul 10.15, keterlambatan yang cukup ekstrim.

Singkat kata, dilakukan pembagian wilayah dan kendaraan. Kendaraan untuk mencapai wilayah Kwangen Mateus, tempat live-in saya adalah minibus, yang merupakan alat transportasi yang lumrah di daerah sana. Semua barang-barang yang besar diletakkan di atap bis, sementara orang-orang duduk bagaikan sarden dalam kaleng di dalam kabin. Bis berjalan dan berguncang, menyebabkan seolah-olah semua syaraf di kaki saya tidak berfungsi lagi. Saya bersyukur ketika sampai di tempat tujuan, dan barang-barang diturunkan. Tinggal menunggu anggota keluarga angkat yang menjemput, dan kegiatan live-in resmi dimulai.

Saya ditempatkan serumah dengan Ilyas, siswa dari kelas XI IPS 1. Sebelumnya, saya hanya sekadar tahu bahwa itu Ilyas, titik. Tidak ada hal-hal lain yang saya ketahui. Demikian juga dengan dia, bahwa dia sekadar tahu bahwa saya Bayu. Tidak lebih. Live-in membuat saya menambah relasi dengan teman-teman satu angkatan yang belum saya kenal sebelumnya. Sungguh tindakan bijaksana dari Moderator, sehingga para siswa bisa berelasi dengan siswa lain yang mungkin belum dikenal, sehingga mempererat persaudaraan sebagai siswa Gonzaga.

Keluarga angkat saya adalah keluarga Bapak Sukimin, salah seorang warga yang cukup berumur di wilayah Kwangen. Yang menjemput saya dan Ilyas pada waktu itu adalah Ibu Tini, yang merupakan istrinya. Ibu tampak antusias menyambut kedatangan kami. Diceritakannya betapa senangnya ia menerima peserta live-in lagi. Rupanya, keluarga ini sudah biasa menerima kedatangan peserta live-in dari berbagai sekolah. Saya berpikir, bahwa masyarakat desa sangatlah rendah hati. Mereka mau menerima dengan tangan terbuka orang asing seperti saya dan Ilyas. Kerendahan hati juga ditunjukkan dengan keramahan yang diberikan ketika kami sampai di rumah.

Inilah saat-saat yang mengejutkan, betapa semua kecemasan saya runtuh menjadi puing-puing yang lagi berbentuk. Apa pasal? Kamar mandi untuk kami ada di dalam kamar saya dengan Ilyas. Rumahnya juga berdinding bata, dan tidak perlu mencari kayu bakar sebab sudah ada kompor gas. Saya bersyukur sepenuh hati karena ketidaktahuanlah yang menyebabkan saya berpikir macam-macam. Ternyata, keadaan di sini tidak seburuk yang saya bayangkan. Semuanya jauh lebih baik, tanpa ragu saya katakan begitu. Untuk pekerjaan, ternyata bapak bukan seorang petani. Kalaupun bertani, hanya dilakukan di musim kemarau, dan masa panen telah lewat. Bapak hanya berladang selama musim hujan, dan itu juga tidak rutin pergi ke ladang. Perekonomian keluarga ditunjang dari pemasukan para mertua bapak, serta dari anak pertamanya yang menjadi Pastor di Banjarmasin.

Bapak tinggal dengan anak kedua, beserta kedua cucunya. Suami anaknya yang kedua bekerja sebagai pengemudi mobil box yang berpusat di Kudus, dan hanya pulang seminggu dua kali. Meski begitu, anak kedua bapak, mbak Kristin tidak mengeluh. Ia bersyukur betapa suaminya memperoleh pekerjaan yang baik. Tidak harus menjadi buruh kasar atau serabutan. Penghasilannya pasti, dan juga dikirimkan melalui ATM. Ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi juga telah mencapai pelosok Indonesia, yang merupakan hasil dari kinerja pemerintah untuk memperkecil jarak ketertinggalan desa dengan kota-kota besar.

Bagi saya, bukan masalah seperti apa saya harus mengikuti pekerjaan bapak. Toh hanya sekadar berladang, dan sisa waktu akan habis di rumah. Jika sudah siang, saya ikut mertua bapak yang kedua, berjualan bakso khas Wonogiri dan mie ayam di pinggir jalan besar. Warung ini memiliki banyak pelanggan, sebab sebelumnya pernah berjualan keliling. Waktu yang saya habiskan di luar rumah tidaklah banyak. Saya kuatir kalau-kalau dituduh melanggar aturan dengan bepergian tanpa anggota keluarga.

Prinsipnya, tidak sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan saya yang baru ini. Mungkin sedikit rumit dalam hal makanan, sebab saya orang yang pilih-pilih. Namun saya mencoba menerima dan cukup sukses beradaptasi. Yang menurut saya konyol adalah, betapa saya baru menyadari ada beras yang kualitasnya lebih rendah dari yang biasa saya makan. Aneh bagi saya melihat nasi yang lembek dengan warna yang agak kemerahan. Karena masih bingung, saya hanya makan sedikit. Saya cemas dengan rasa yang timbul di mulut karena nasi yang saya makan tadi. Sehingga selera makan saya lekas lenyap dari rongga kerongkongan saya.

Suatu kenyataan menampar saya begitu kerasnya, saat melihat teman serumah saya bisa dnegan mudahnya mendekat dan mengambil hati kedua cucu bapak. Yang lebih tua bernama Aldo, anak berumur tujuh tahun, sedang adiknya Ayu, masih dalam buaian ibunya. Teman saya itu seolah-olah tahu betul bagaimana cara mengambil hati keduanya, dan tampak nyaman karenanya. Sementara saya? Melihatnya, timbul rasa yang aneh dalam batin saya. Iri. Tidak pernah saya merasakan iri yang sedemikian besarnya dalam hati saya. Saya sudah biasa dengan pujian dan tatapan iri yang dilontarkan beberapa orang yang mengenal saya. Tapi, jika saya yang merasa iri? Hati saya bagaikan dicabik dengan sembilu.

Jujur, saya menangis di dalam hati, namun dengan senyuman manis tetap terukir di bibir saya. Saya tidak tahu apa yang harus diperbuat, atau bagaimana cara menghilangkan rasa iri hati itu. Saya melihat bagaimana teman saya tersenyum kepada anak kecil itu. Senyum itu sedemikian tulusnya, sampai hati saya hancur berkeping-keping. Senyuman yang mengembang di bibir teman saya membuat semua kebaikan yang buat seakan-akan tidak tulus. Jika dideskripsikan, saya hanya sekadar melakukan ‘kebaikan hati’, sementara dia melakukan ‘kebajikan’. Sekalipun merupakan sinonim, ada jurang menganga di antara kedua kata tersebut. Saya merasa terkucilkan dari kehidupan. Hanya raga saya yang di sana, tapi tidak dengan pikiran dan hati saya.

Seketika, timbul rasa dendam dalam hati saya, sementara teman saya itu tidak menyadarinya, apalagi mengetahuinya. Saya tunjukkan betapa manisnya tutur-kata saya dan sikap saya dalam menghormatinya. Kenyataannya, saya membencinya setengah mati saat itu. Saya ingin dia hancur karena suatu perbuatan saya, dan tidak ingin dia bisa kembali utuh seperti semula. Tapi, melihat sikapnya yang sedemikian santai, ramah, dan terbuka kepada saya. Saya mempertanyakan lagi keinginan saya untuk menghancurkannya. Itu jahat, bahkan amat sangat jahat. Saya kira, ketidaktulusan saya sudah merupakan kejahatan besar. Tidak harus menambah daftar kejahatan saya dengan menghancurkan orang lain.

Malam kedua dan terakhir, saya bertukar pikiran dengannya. Kami menceritakan latar belakang keluarga kami. Dari situ, saya tahu bahwa ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, dan adiknya yang paling kecil kelas dua SD. Jika dipikir secara rasional, dari situlah ia memahami cara-cara untuk berempati kepada orang lain dan berbelas kasih. Namun, saya menolak pikiran itu, dan rasa iri itu membuncah. Mengapa ia bisa dan saya tidak? Ia bersikap bahwa di antara saya dan dia tidak ada masalah, dan ia tidak mengetahui apa yang saya sembunyikan dari dia. Saat mencoba untuk melakukan hal yang sama dengan yang diperbuatnya, bagi saya itu masalah. Hasilnya tidak mungkin sama untuk suatu perbuatan identik yang diperbuat oleh orang dengan kepribadian berbeda. Sulit rasanya untuk berempati, memperhatikan apa yang dibutuhkan orang lain. Saya selalu menanyakan apa alasannya saya harus berempati, jika masuk akal, saya akan melakukannya, jika tidak, maka lupakanlah.

Saya merasa selama tiga hari tidur, pikiran saya tidak tenang. Saya sepertinya menyadari kalau saya mencoba untuk mencakari wajah saya sendiri selama tidur, betapa saya selalu tenggelam dalam doa-doa saya, dan semuanya sia-sia saat saya hendak tidur. Hati saya menangis dan menjerit, padahal saya hanya melihat kebaikan yang ditunjukkan seseorang. Saya menertawakan diri saya sendiri atas ketidakmampuan saya, saat saya mengingat kalimat dalam salah satu epos yang mengatakan bahwa iri adalah suatu hal yang aneh, terutama jika iri itu timbul atas kebaikan orang lain.

Sepanjang hari ketiga, saya merasa kegiatan live-in saya sudah tidak berguna. Makan dan minum serasa hambar. Saya semakin larut dalam pedihnya kesedihan, sekalipun raut muka dan tutur kata hampir-hampir tidak terpengaruh. Pada malam harinya, saya tidak bisa menahan diri untuk berkata,”Ilyas, tahukah kau bahwa aku iri padamu?” Tanggapan yang keluar dari mulutnya santai, tidak mempermasalahkan rasa iri itu. Jelas itu bukan karena ia sombong. Ia rendah hati, rasa iri orang lain kepada dirinya dianggapnya sebagai anugerah, dan berusahalah ia menularkan kerendahan hati itu kepada orang tersebut. Saya katakan kepadanya, bahwa saya umpamakan diri saya seperti sebuah belati yang diukir cantik. Secantik apapun belati itu, ia tetap bisa membunuh. Ia menanggapi dengan mengatakan bahwa belati cantik itupun bisa patah.

Saya tersadar dan merasakan, bahwa saya-lah belati cantik yang patah itu.

Dari hasil tukar-pikiran yang kami berdua lakukan saat malam kedua dan terakhir, saya menyadari, bahwa kebaikan yang saya tunjukkan tidak sepenuhnya tulus, sekadar menjalankan tugas, tanpa niatan lain. Hati saya sedemikian dinginnya, sampai mati rasa. Tidak mau berbagi kepada orang lain. Dalam hidup, saya menyadari bahwa saya selalu berpikir dari sisi ‘aku’, tanpa memperhatikan sisi yang lainnya. Selama dua hari itu, saya sepertinya tenggelam dalam situasi terlalu mengasihani diri saya sendiri. Pendek kata, saya bersedih untuk diri saya sendiri atas suatu ketulusan, kerendahan hati yang saya sadari bahwa saya hampir tidak memilikinya sama sekali.

Setelah perpisahan yang cukup menyentuh, kami pulang. Kini, timbul perasaan yang aneh terhadap teman serumah saya itu. Saya menyayangi dia sebagai sahabat, sekaligus kakak yang telah mengajarkan dan menjadi teladan saya atas nilai-nilai sosial. Saya ingin menjadi sahabat terdekatnya, namun saya takut, kalau rasa iri menguasai hati saya lagi maka saya akan menghancurkannya cukup dengan sekali pukul atas setumpuk duka dan rasa iri yang saya miliki.

----------------------------------------
*Cap tiga jari*
lidah.cabang.dua

Refleksi [Curhatan] Live-In part. 1

Apakah anda pernah mendengar istilah 'Live-In'? Bagi yang menempuh pendidikan di sekolah Katholik mungkin paham apa istilah Live-in ini. Live-in adalah program sekolah yang konon bisa membuat kita lebih paham, memaknai betapa masih besarnya jurang perbedaan serta kesenjangan sosial antara masyarakat kota dan desa.

Well, di sini bukan deskrip semacam apa kehidupan orang-orang di sana, itu terlalu dangkal, Cherie. Isinya, yah, bisa anda katakan 'konyol', 'tidak penting', 'sampah', dan sinonim kata lainnya yang bermakna 'tidak-berguna' Anda mungkin tahu orang semacam apa saya ini, si jahat, si keji, orang paling 'tega-an', tidak ber-hati nurani, dan sebutkanlah sejuta konotasi negatif untuk saya ini.

Yah, bagi saya (tentu saja), saya sempurna seperti diciptakan-Nya.
~Ganti signtaure, BTW :D

Part 1 cerita Live-In.

Pikiran-pikiran: ‘Bagaimana kalau … ?’

Yang muncul sebelum pelaksanaan Live-In

Live-In, sebuah acara tahunan yang digagas oleh moderator SMA Gonzaga bagi seluruh siswa-siswi kelas XI kini akan diadakan bagi angkatan 21. Pertama kali mendengar kata “Live-In”, timbul dalam benak saya sejuta pertanyaan bagaimana pelaksanaan acara itu nanti. Kuatir dan cemas, itu yang memenuhi benak saya tiap mendengar frase di atas. Kuatir dan cemas karena apa? Kalau boleh jujur, itu adalah pertanyaan klise yang pernah muncul dalam benak saya. Tentu saja cemas tentang keadaan di sana, kehidupan baru yang belum pernah saya rasakan di sana, dan lain sebagainya.

Saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat kota, dimana terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang berkecukupan. Bisa jadi saya justru merasa terkejut, dan kemudian menjadi tidak berdaya saat menghadapi kegiatan-kegiatan live-in nanti. Timbul perasaan tambahan, yakni takut. Takut akan segala hal yang berkaitan dengan live-in, serta perasaan malas yang datang bagai air bah. Setiap membaca kata-kata “Live-In” di kalender pendidikan, mood saya bisa berubah drastis menjadi jelek. Perubahan mood itu berpengaruh kepada sisa kehidupan saya sepanjang hari itu. Di suatu saat menjadi emosional, dan di lain waktu menjadi pendiam dan menolak untuk berbagi perasaan dengan siapapun.

Live-In sudah menjadi sedemikian momok bagi saya. Sudah timbul beberapa ide, bagaimana caranya agar saya bisa ‘melarikan diri’ dari kegiatan tersebut. Bagaimanapun juga, live-in itu harus tetap saya jalani, dan niat untuk kabur itu dikubur dalam-dalam, setelah saya mengetahui ada salah satu siswa yang juga mencoba minta izin dari live-in tidak diperbolehkan oleh Moderator. Saya melihat dan mendengar kejadian itu di depan mata saya, maka saya menyimpulkan bahwa tindakan apapun untuk izin dari kegiatan itu tidak akan membuahkan hasil apapun. Perasaan-perasaan saya juga menjadi sia-sia, sebab bagaimanapun juga saya akan menginjakkan kaki dan merasakan sendiri kegiatan live-in yang pasti berbeda 180o dengan kehidupan saya sehari-hari.

Jauh-jauh hari, saya sudah memikirkan cara-cara untuk mengantisipasi kegiatan live-in yang akan dijalani. Mungkin saya tidak cocok dengan makanannya, maka saya akan membawa makanan-makanan praktis dari rumah. Lalu, jika keadaan rumahnya seperti ini dan itu, saya mempersiapkan antisipasi untuk setiap keadaan itu. Pendek kata, setiap pertanyaan yang dimulai dengan frase ‘Bagaimana kalau … ?’ saya akan mempersiapkan segala hal untuk mengantisipasinya dan memperkecil dampak negatif yang mungkin timbul. Pikiran-pikiran negatif tidak henti-hentinya timbul di otak saya. Jika dibuat sebuah catatan yang berisi pikiran-pikiran negatif itu, mungkin akan menghabiskan satu halaman kertas folio.

Hari berganti, semakin lama semakin mendekati hari-hari pelaksanaan live-in. Hati saya seolah-olah tenggelam dalam rasa kuatir yang sedemikian besarnya, sehingga perasaan gembira seperti apapun yang coba saya tanamkan ke dalam pikiran saya seolah-olah larut oleh cairan kekuatiran yang sedemikian pekatnya, dan sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa cemas ini. Animo yang sedemikian hebatnya membuat saya semakin menghindari topik pembicaraan seputar live-in. Tiap kali ada yang membicarakannya, hati saya menjadi tidak karuan, dan memilih untuk menutup telinga serta pergi menjauh sebelum perasaan saya menjadi kacau balau.

Alangkah tidak beruntungnya saya, sebab salah satu guru yang sangat rajin masuk ke kelas XI IPA 1 terus-menerus menceritakan prosedur yang telah dipersiapkan untuk acara live-in nanti. Mulai dari rencana pembagian teman serumah, alat transportasi di sana, pengalaman-pengalaman live-in dari tahun ke tahun, dan sebagainya. Aturan untuk tidak membawa kamera bukan masalah bagi saya, tetapi untuk tidak membawa telepon selular? Aturan itu bagaikan petir yang menyambar dan meluluhlantakkan pikiran saya. Itu kedengaran konyol sekali. Pikiran untuk ‘menyelipkan’ telepon selular muncul. Tapi mengingat itu adalah aturan, maka percuma saja. Upaya untuk melanggarnya hanya akan berbuah bencana bagi saya. Maka mengiyakan aturan itu, meski dengan berat hati menjadi opsi satu-satunya dan yang terbaik untuk dilaksanakan.

Suatu hari, siswa-siswi kelas XI diwajibkan untuk berkumpul di Aula Seminari sepulang sekolah untuk pembekalan kegiatan live-in. Konon, tujuan diadakannya pembekalan ini adalah mempersiapkan peserta live-in agar mampu dan siap untuk terjun di masyarakat dengan lebih baik. Kenyataannya, saat acara ini diumumkan saya bagai mendengar kutukan yang dilontarkan tepat di depan batang hidung saya. Ingin rasanya berlari menjauh dari kompleks sekolah seketika. Seakan-akan muncul rantai-rantai yang membelit kaki saya dan menyeretnya ke Aula Seminari. Di sana, sudah dipersiapkan dua layar proyektor, berikut file presentasi berisi rekaman singkat kegiatan live-in tahun lalu. Dalam dokumentasi yang ditunjukkan dalam presentasi, seolah-olah semuanya berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Itu kan tahun lalu. Kalau nanti, bagaimana? Pikiran-pikiran semacam itu tidak henti-henti muncul dalam otak saya.

Kertas berisi persiapan yang perlu dibawa sudah diedarkan, dan sekali lagi mata saya terpaku pada larangan untuk membawa telepon selular yang saya anggap nista dan tidak perlu itu. Properti-properti tambahan seperti jas hujan dan sepatu bot ternyata juga harus dibawa. Menyulitkan, bukan? Bisa dibayangkan akan seperti apa bentuk koper saya nanti, dan berapa beratnya kalau-kalau harus dijinjing melintasi pematang sawah.

Oh, tutup mulut, Bayu. Bersiap-siaplah untuk live-in nanti.

----------------------------------

*Cap tiga jari*
lidah.cabang.dua

Senin, 30 Maret 2009

When Mix Meet Match

Oh, dear. Sadarkah apa arti tulisan di atas?
Bukan ketika sesuatu akhirnya menemukan pasangannya, bukan.
Dari kacamata saya, itu berarti 'Saat Stres Berjumpa dengan Teknologi'

Maksud?

Tidak, tidak. Saya tidak ingin anda menerka sendiri apa artinya. Biar saya deskripsikan untuk anda.

Tentu, jika anda melihat tanggal terakhir saya menuliskan entri di blog ini, bisa jadi anda akan mengatakan,'blog ini vakum ya?' atau kalimat lain yang menanyakan apakah saya masih ingin menjaga eksistensi saya sebagai penulis forum di mana para penggunanya bisa melarikan jemari mereka di atas keyboard untuk mencurahkan berbagai hal dalam hidup mereka.

Kali ini, isi entri saya adalah beragam cerita yang telah terjadi dalam kurun waktu yang, yah, tidak bisa dibilang sebentar juga. Namun, ingatan juga ada batasnya, dear Cherie. Jadilah hanya ada beberapa cerita yang bisa saya bagi bersama anda, para pembaca. Stres di sini dalam artian beragam pengalaman hidup dengan berbagai warna, dan teknologi, yah, tentu saja blog ini, dear.

3 kisah yang bisa saya bagi kali ini:

1. Rencana Reuni SD Triguna.
Ahahaha~, rencana bodoh ya kedengarannya? Jujur saja, sulit sekali untuk mengimpun bahkan hanya 19 orang satu angkatan SD Triguna yang lulus tahun 2004 itu. Well, bisa anda katakan kalau saya egois. Egois? I am.

Pengumuman via PM di facebook sudah saya buat. Bagaimana tanggapan mereka? Bervariasi, my dear.

Mulai dari yang setuju-setuju saja, excited dan ingin tahu lebih jauh, menyesal karena dia sedang menghadapi UAN, dan beragam perasaan lain dari beberapa orang yang berhasil saya himpun di dalam thread itu. Ah, jujur saja, saya merasa senang dengan berbagai tanggapan yang mereka tuliskan. Tidak sadarkah, mereka membangun lubang jebakan sendiri?

Puas mereka menghina saya.

Bagi saya, kalimat 'bawel' dan semacamnya rasa-rasanya sudah sering dikatakan kepada saya, baik di depan batang hidung, maupun bisik-bisik di belakang. Saya kebal, tak ambil pusing. Sekaligus mengasah pisau, menanti saat-saat indah pembalasan dendam.

Anda mau bilang saya gila, silakan.

Mon Dieu,
Saya bersyukur tidak terlahir sebagai sampah.

Rasa-rasanya, tingkat ketidakpedulian saya semakin memuncak ya? Sempat terpikir untuk serta-merta menyingkirkan thread yang bahkan saya sendiri yang membuatnya.
Untuk apa saya membangun ladang tempat 'nyampah'? Oh, dear. Saya merasa tidak dihargai sekalipun mereka hanya katakan itu bercanda. Bagi saya, itu kejahatan.

Jujur, saya tidak lagi berharap banyak mereka mau datang atau tidak. Setengah menyesal saya merencanakan ini jauh-jauh hari. Bisa dikata, yah, satu bulan sebelum acara itu sendiri (21 April). Lama-lama saya pikir, kenapa saya harus merencanakan ribet-ribet acara semacam ini, bukan atas kesadaran mereka?

Saya cuma ingat kalau guru-guru SD yang menyatakan mereka rindu sama rekan-rekan angkatan saya.
Then, apa salahnya berbuat baik?

Rasa-rasanya sulit kalau saya yang harus berbuat baik. Mungkin saya setan yang terjebak dalam tubuh manusia. Mengutip kata Raine Beau: angel outside, devil inside.
Boleh coba ditotal berapa orang yang bilang saya kejam. Saya bahkan tidak mau menghitungnya, sebab akan sangat memalukan.

Bagaimana nasib thread yang saya buat dan rencana itu?

Ingin saya tuliskan kalau acaranya batal. Tidak ada salahnya kan, kalau saya ingin saya sendiri yang datang, mengkambinghitamkan kesibukan sebagai alasan rekan-rekan saya tercinta tidak datang?

Cinta itu racun, Cherie.

Saya ada rencana lain. Tidak seorangpun boleh tahu.

2. Pulang-Pergi Jakarta-Sukabumi
Acara klub Mercy W201 yang digagas mas-mas, (om-om lebih baik) itu di Sukabumi berubah menjadi kegilaan.

Saya dan mama berangkat jam 20.30, sampe sana jam 23.00, pulang jam 00.30, sampe rumah lagi jam 02.00
............
............

Gila ya? Syakakak~

Anyway, hidangannya mantabs. Bagaimana tidak? Tangan saya kebas memotong sosis beku yang aduhai itu. Sampai tidak enak, wah, sesallah mereka nanti. Haha~

Enough for this.

3. Ul. Mid-2 Penjasorkes[ta]
Apa itu Penjasorkes, cherie?

Pendidikan Jasmani, Olah Raga, dan Kesehatan. >> sampah

lalu, apa pasal dengan [ta]?

NISTAAA~~~~

Belum pernah ya, ada ulangan sampah semacam ini di dalam hidup gue sebagai Siswa Kolese Gonzaga yang terkenal dengan 3Cnya itu dan 'Lebih Besarnya Nama Entitas-Maha-Agung-Penguasa-Langit-dan-Bumi' itu.

Semua soalnya berawalan frasa 'ceritakan'

Once upon a time, eh?

Ulangan aneh.

-------------------------------
Cukup untuk ini semua. Tidak berharap ada yang mau membaca lengkap-lengkap cerita nomer satu.

Benci saya? Silakan.
Saya tercipta baik adanya oleh Entitas-Maha-Agung-Penguasa-Langit-dan-Bumi itu.
Anda membenci saya, maka anda membenci pencipta saya, then?

*cap empat jari*
B.A.Y.U

Senin, 16 Februari 2009

LDK >> Latihan Dasar Kegembiraan, bukan kepemimpinan part. 3

Jreng, jreng, jreng.

Lanjutlah cerita tentang LDK saya yang penuh kegembiraan, bukan kepemimpinan ituh. *kapan ini cerita beresnya?*

Jadi, setelah Final Project lelah itu, acaranya, ermm, apa yah? *digeplak* Ah, evaluasi. Nah, pas evaluasi itu, saia denger fasilitatornya bilang gini,"Wah, kalo iya berhasil, miracle banget namanya .."

...................
...................
...................

Berarti DIA NGGAK NGAREP KITA BERHASIL DONG??
*tusuk2 fasilitator sekuat tenaga untuk ke sekian kalinya*

Gue kesal luar biasa pas denger dia ngomong kayak gitu. Jadi gue mikir,"Oh, kalo gitu caranya, mendingan dia gak usah ngasih Final Project aja sekalian," Biar gak capek ati, gue diem aja deh. Gak usah banyak komen pas evaluasi itu, daripada gue kesel, malah jadinya badan lemes. Tapi ya, sepanjang hari itu rasanya cepeeet banget. Gak berasa, tau-tau udah sore dan semua peserta disuruh mandi, bersih-bersih lah pokoknya, sebelum mengikuti sesi 'curhat' oleh para pengurus Senat tahun ajaran sebelumnya.

Semuanya cerita, bagaimana lelah dan gilanya kehidupan mereka semua sebagai seorang pengurus Senat. Kesibukan-kesibukan, permasalahan yang dihadapi, dan lain sebagainya. Ketika giliran Bendahara 1 yang ngomong, dia komen tentang kinerja para bendahara yang lamaaa banget untuk ngumpulin LPJ suatu acara. *sound effect* jleb, gue berasa banget, dan gue cuma bisa sal-ting sambil ketawa, sampe semua orang nyadar bahwa GUE-lah bendahara yang belum menyetorkan LPJ itu. =))

Yaa, sesi sharing itu berlangsung setandar-setandar sajalah. Habis itu, semua peserta harus menghadapi 'tantangan', berkeliling kompleks Civita yang gelap dengan sebatang lilin. Di tiap-tiap pos, ada pertanyaan yang harus dijawab. Konon, jawaban yang dituliskan menentukan 'nasib' kita sebagai calon pengurus senat. Habis jawab pertanyaan, mari tidurr..

Besoknya? Kejutan! Persiapan untuk Pilot Project. Pembuatan proposal yang PALING CEPET DALAM HIDUP GUE, cuma 15 menit, dan ditambah sekitar 5 menitan. Segera dipikir, segera diketik, segera diprint, segera distaples, segera dibahas! Saya masuk jadi 'dayang-dayang' acara yang bersiap untuk mengatur segala sesuatunya untuk acara itu. Acaranya? Valentine! Paling deket dan gampang. Persiapannya boleh dibilang ribet, udah gitu ditinggal sama yang kelas XI pergi Live-In. Mereka yang kls X bener2 berjasa besar. Terima kasih atas kerjasamanya *nangis terharu*.

Saya baca puisiii~~ Ini puisi ribet banget. Biasanya, untuk bikin puisi cukup baca wacana/karya sastra dulu, diem sebentar, terus puisinya jadi. Yang ini? Pake observasi dulu, meresapkan kata-katanya dulu, dipikir-pikir, temanya pas apa nggak, dan yang utama adalah: Mengesankan gak tata bahasa yang gue pake? Jadi deh, puisi yang judulnya 'Sehelai Sutera'. Nanti ditulis deh di blog. Hoho~.

Pilot Projectnya? Hanya satu kata: Sukses! Terima kasih semua LDKers~

Dengan ini, selesailah kisah LDK. Lalu, apa lagi kisah selanjutnya? Lihat saja nanti.
CU@ cantanteoctavo.blogspot.com

*cap empat jari*
B.A.Y.U