Silakan perhatikan tiga pasang frasa di bawah ini:
1) Manusia banyak, (menjadikan)
2) Bumi sesak, (sehingga)
3) Saya MUAK. (berani protes?)
Dari lubuk hati saya yang paling dalam—sekaligus ditambah kejujuran, saya sungguh tidak paham, mengapa hidup saya ini dikelilingi oleh orang-orang barbar. Yeah, kaum brutal yang sudah layak dan sepantasnya musnah bertahun silam, seolah-olah diberi rahmat untuk kembali menurunkan sifat-sifat mereka di kebanyakan manusia yang—sayang sekali, harus hidup, bergerak, berjalan, berbicara di sekitar kehidupan saya. Sayang, dunia ini tidak lebih sesak ketimbang beras dalam genggaman tangan. Mengapakah kalian masih ingin membuatnya lebih memuakkan?
Kemudian, sebutkanlah bahwa saya ini makhluk egois, asosial, tidak mau mengerti perkembangan zaman, kemudian berujung pada kalimat tidak bisa bertoleransi. Oh, mari kita kembalikan pada diri masing-masing: apakah kita semua sudah dengan sukses menghayati apa itu toleransi?
Toleransi = tolerare = ‘membiarkan sesuatu dengan sabar’
Maka, timbul pertanyaan sederhana (oh, yang bahkan saya sendiri tidak bisa menjawabnya): Bagaimana kalau saya sudah kehabisan kesabaran?
Perhatikan baik-baik, saya masih tersenyum, saya masih berbicara, saya masih bersedia membantu sepanjang apa yangs aya perbuat itu bisa berguna bagi setidak-tidaknya entitas yang memerlukan. Itu yang namanya toleransi bagi saya untuk saat ini. Membiarkan diri sendiri berbuat suatu sikap yang disadari kerendahan hati, berikut fakta bahwa manusia adalah makhlulk sosial. Done.
Namun, bagaimana seandainya yang saya hadapi itu adalah sesosok makhluk barbar dalam rupa wujud manusia?
Oke, saya tidak lagi sekadar muak, melainkan benci, bahkan sampai mengutuk. Demi apapun yang saya sembah, saya tidak sudi berurusan dengan makhluk barbar lagi untuk seterusnya. Sebutkanlah saya egois, karena tidak bisa beradaptasi dan berbaur dengan orang-orang macam itu. Maka, saya katakan: ya, saya memang egois. Saya tidak mau menerima ada makhluk-makhluk macam itu di bumi, namun sayang sekali keberadaan mereka tidak ubahnya jamur di musim penghujan—berkembang biak sedemikian cepatnya. Maka, saya bisa mensintesis sebuah kesimpulan dari sudut pandang subjektif (perhatikan kata-kata saya ini) bahwa mereka yang bisa berbaur dan menerima keberadaan para barbar adalah mereka yang teberkati oleh Yang Empunya Hidup—lain halnya kalau mereka ternyata sama-sama barbar dan bisa kita beri label dengan tulisan sakit jiwa.
Kemudian, ajukanlah pertanyaan: sikap macam apa yang saya tunjukkan sebagai apresiasi kepada para barbar?
Oh, perhatikanlah. Saya masih mengapresiasi mereka. Tolong, berikan saya tepuk tangan terkeras yang paling mungkin. Saya mengutuk, tapi masih sudi memberi apresiasi. Tidakkah itu pencapaian yang amat-sangat luar biasa?
Maka, jawaban saya adalah: bersimpati dan mengasihani.
Tidak, tidak. Saya sudah lelah mencela—bahkan tanpa harus ditambahkan mengutukpun, dosa sudah menenggelamkan saya sampai sebatas leher, barangkali. Andaikan sebuah perkataan buruk menghadiahkan luka pada mulut, maka saya beritahukan pada anda sebuah kemungkinan bahwa mulut saya boleh jadi sudah bersimbah darah. Hanya bisa menyatakan prihatin. Betapa dalam dunia yang sungguh teratur dan maha-sempurna ini ternyata masih ada golongan yang tersesat: mereka yang tidak pernah mengenal apa itu etika. Nah, kalau etika (yang notabene berasal dari dalam diri) masih diragukan keberadaannya, apa kabar dengan eksistensi etiket?
Saya masih melihat dengan jelas empat ekor entitas barbar yang tadi bermain-main di balik punggung saya tidak ubahnya hewan peliharaan. Orang-orang yang acuh pada suatu hal yang sedang berlangsung (dan merupakan sebuah kewajiban) untuk kemudian menciptakan matahari baru untuk mereka berevolusi. Saudara-saudara, saya katakan sekali lagi, betapa muak saya dengan itu. Bunyi-bunyian nyaring yang tersangkut di rongga tenggorok kalian, perbuatan konyol tak kenal malu yang sampai hati mampir di otak kalian, dan mungkin sederet kenistaan lain yang karena alas an hati nurani tidak layak untuk saya jabarkan secara gamblang ke batang hidung para pembaca yang terhormat.
Saya mohon (bayangkan, saya memohon.) pada anda untuk segera memperbaiki diri, bercermin, mencari akal sehat yang tercecer, sehingga saya tidak perlu merasa risih ketika harus mengatakan bahwa anda memiliki relasi dengan saya—terlebih, agar saya lega menyebut anda bukan dengan embel-embel ekor.
(tawa sinis)
Siapa saya? Ah, saya bukan Tuhan. Saya hanya orang yang merasa bahwa masih punya etika—sekalipun masih jauh dari sempurna, sekaligus sadar betul bahwa saya menghayati etiket.
Maka sayangku, kumpulkan lagi kecerdasan kalian, yah? (:
“Karena sayang, mana yang suka melihat sampah di halaman?” 1) Sigi.2009:1
Lidah. Cabang. Dua.
-------
Sigi, Tiyana. Bersih-Bersih. Jakarta: Wordpress, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar