Sabtu, 04 April 2009

Refleksi [Curhatan] Live-In part. 1

Apakah anda pernah mendengar istilah 'Live-In'? Bagi yang menempuh pendidikan di sekolah Katholik mungkin paham apa istilah Live-in ini. Live-in adalah program sekolah yang konon bisa membuat kita lebih paham, memaknai betapa masih besarnya jurang perbedaan serta kesenjangan sosial antara masyarakat kota dan desa.

Well, di sini bukan deskrip semacam apa kehidupan orang-orang di sana, itu terlalu dangkal, Cherie. Isinya, yah, bisa anda katakan 'konyol', 'tidak penting', 'sampah', dan sinonim kata lainnya yang bermakna 'tidak-berguna' Anda mungkin tahu orang semacam apa saya ini, si jahat, si keji, orang paling 'tega-an', tidak ber-hati nurani, dan sebutkanlah sejuta konotasi negatif untuk saya ini.

Yah, bagi saya (tentu saja), saya sempurna seperti diciptakan-Nya.
~Ganti signtaure, BTW :D

Part 1 cerita Live-In.

Pikiran-pikiran: ‘Bagaimana kalau … ?’

Yang muncul sebelum pelaksanaan Live-In

Live-In, sebuah acara tahunan yang digagas oleh moderator SMA Gonzaga bagi seluruh siswa-siswi kelas XI kini akan diadakan bagi angkatan 21. Pertama kali mendengar kata “Live-In”, timbul dalam benak saya sejuta pertanyaan bagaimana pelaksanaan acara itu nanti. Kuatir dan cemas, itu yang memenuhi benak saya tiap mendengar frase di atas. Kuatir dan cemas karena apa? Kalau boleh jujur, itu adalah pertanyaan klise yang pernah muncul dalam benak saya. Tentu saja cemas tentang keadaan di sana, kehidupan baru yang belum pernah saya rasakan di sana, dan lain sebagainya.

Saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat kota, dimana terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang berkecukupan. Bisa jadi saya justru merasa terkejut, dan kemudian menjadi tidak berdaya saat menghadapi kegiatan-kegiatan live-in nanti. Timbul perasaan tambahan, yakni takut. Takut akan segala hal yang berkaitan dengan live-in, serta perasaan malas yang datang bagai air bah. Setiap membaca kata-kata “Live-In” di kalender pendidikan, mood saya bisa berubah drastis menjadi jelek. Perubahan mood itu berpengaruh kepada sisa kehidupan saya sepanjang hari itu. Di suatu saat menjadi emosional, dan di lain waktu menjadi pendiam dan menolak untuk berbagi perasaan dengan siapapun.

Live-In sudah menjadi sedemikian momok bagi saya. Sudah timbul beberapa ide, bagaimana caranya agar saya bisa ‘melarikan diri’ dari kegiatan tersebut. Bagaimanapun juga, live-in itu harus tetap saya jalani, dan niat untuk kabur itu dikubur dalam-dalam, setelah saya mengetahui ada salah satu siswa yang juga mencoba minta izin dari live-in tidak diperbolehkan oleh Moderator. Saya melihat dan mendengar kejadian itu di depan mata saya, maka saya menyimpulkan bahwa tindakan apapun untuk izin dari kegiatan itu tidak akan membuahkan hasil apapun. Perasaan-perasaan saya juga menjadi sia-sia, sebab bagaimanapun juga saya akan menginjakkan kaki dan merasakan sendiri kegiatan live-in yang pasti berbeda 180o dengan kehidupan saya sehari-hari.

Jauh-jauh hari, saya sudah memikirkan cara-cara untuk mengantisipasi kegiatan live-in yang akan dijalani. Mungkin saya tidak cocok dengan makanannya, maka saya akan membawa makanan-makanan praktis dari rumah. Lalu, jika keadaan rumahnya seperti ini dan itu, saya mempersiapkan antisipasi untuk setiap keadaan itu. Pendek kata, setiap pertanyaan yang dimulai dengan frase ‘Bagaimana kalau … ?’ saya akan mempersiapkan segala hal untuk mengantisipasinya dan memperkecil dampak negatif yang mungkin timbul. Pikiran-pikiran negatif tidak henti-hentinya timbul di otak saya. Jika dibuat sebuah catatan yang berisi pikiran-pikiran negatif itu, mungkin akan menghabiskan satu halaman kertas folio.

Hari berganti, semakin lama semakin mendekati hari-hari pelaksanaan live-in. Hati saya seolah-olah tenggelam dalam rasa kuatir yang sedemikian besarnya, sehingga perasaan gembira seperti apapun yang coba saya tanamkan ke dalam pikiran saya seolah-olah larut oleh cairan kekuatiran yang sedemikian pekatnya, dan sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa cemas ini. Animo yang sedemikian hebatnya membuat saya semakin menghindari topik pembicaraan seputar live-in. Tiap kali ada yang membicarakannya, hati saya menjadi tidak karuan, dan memilih untuk menutup telinga serta pergi menjauh sebelum perasaan saya menjadi kacau balau.

Alangkah tidak beruntungnya saya, sebab salah satu guru yang sangat rajin masuk ke kelas XI IPA 1 terus-menerus menceritakan prosedur yang telah dipersiapkan untuk acara live-in nanti. Mulai dari rencana pembagian teman serumah, alat transportasi di sana, pengalaman-pengalaman live-in dari tahun ke tahun, dan sebagainya. Aturan untuk tidak membawa kamera bukan masalah bagi saya, tetapi untuk tidak membawa telepon selular? Aturan itu bagaikan petir yang menyambar dan meluluhlantakkan pikiran saya. Itu kedengaran konyol sekali. Pikiran untuk ‘menyelipkan’ telepon selular muncul. Tapi mengingat itu adalah aturan, maka percuma saja. Upaya untuk melanggarnya hanya akan berbuah bencana bagi saya. Maka mengiyakan aturan itu, meski dengan berat hati menjadi opsi satu-satunya dan yang terbaik untuk dilaksanakan.

Suatu hari, siswa-siswi kelas XI diwajibkan untuk berkumpul di Aula Seminari sepulang sekolah untuk pembekalan kegiatan live-in. Konon, tujuan diadakannya pembekalan ini adalah mempersiapkan peserta live-in agar mampu dan siap untuk terjun di masyarakat dengan lebih baik. Kenyataannya, saat acara ini diumumkan saya bagai mendengar kutukan yang dilontarkan tepat di depan batang hidung saya. Ingin rasanya berlari menjauh dari kompleks sekolah seketika. Seakan-akan muncul rantai-rantai yang membelit kaki saya dan menyeretnya ke Aula Seminari. Di sana, sudah dipersiapkan dua layar proyektor, berikut file presentasi berisi rekaman singkat kegiatan live-in tahun lalu. Dalam dokumentasi yang ditunjukkan dalam presentasi, seolah-olah semuanya berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Itu kan tahun lalu. Kalau nanti, bagaimana? Pikiran-pikiran semacam itu tidak henti-henti muncul dalam otak saya.

Kertas berisi persiapan yang perlu dibawa sudah diedarkan, dan sekali lagi mata saya terpaku pada larangan untuk membawa telepon selular yang saya anggap nista dan tidak perlu itu. Properti-properti tambahan seperti jas hujan dan sepatu bot ternyata juga harus dibawa. Menyulitkan, bukan? Bisa dibayangkan akan seperti apa bentuk koper saya nanti, dan berapa beratnya kalau-kalau harus dijinjing melintasi pematang sawah.

Oh, tutup mulut, Bayu. Bersiap-siaplah untuk live-in nanti.

----------------------------------

*Cap tiga jari*
lidah.cabang.dua

Tidak ada komentar:

Posting Komentar