Sabtu, 04 April 2009

Refleksi [Curhatan] Live-In part. 2

Bagian kedua dari tiga buah aria kisah perjalanan Live-In


Pelaksanaan: “Oh, ternyata …”

Yang nyata (dan menyakitkan) saat ada di tempat live-in

Tak kenal, maka tak sayang. Begitu apa kata pepatah. Kata-kata bijak itu ternyata ada benarnya juga. Saya memutuskan untuk menerima semua aturan yang diberikan sekolah. Tetapi, saya memperoleh izin untuk pulang dengan keluarga saya, sebab ada arisan keluarga yang kebetulan bertepatan dengan hari ketika rombongan peserta live-in sampai di Jogjakarta. Semua keperluan live-in sudah saya persiapkan, sekalipun dengan setengah hati. Termasuk dua properti yang saya anggap ‘aneh’ dan ‘tidak biasa’, yakni jas hujan dan sepatu bot. Jas hujan bisa diakali sehingga masuk ke dalam koper. Sepatu botnya? Jangan ditanya.

Sembako adalah komoditi yang wajib dibawa saat live-in. Ini adalah ketentuan yang diberikan dalam buku panduan. Sembako ini akan diberikan kepada keluarga asuh sebagai buah tangan dari Jakarta. Barang bawaan ini ternyata memiliki massa yang cukup besar dan mengambil tempat yang cukup luas. Apa pasal? Beras, gula, dan teh yang dibawa tidak muat untuk dimasukkan ke dalam koper, maupun ransel yang saya bawa. Beratkah? Amat berat, jawaban saya. Terutama beras yang, meskipun dibawa dalam jumlah liter dan bukan kilogram, tetap saja memiliki berat yang tidak sedikit.

Dalam perjalanan ke sekolah, rasanya berat sekali untuk meninggalkan segala bentuk teknologi yang biasanya mengisi hari-hari saya. Terutama telepon selular. Jadilah detik-detik terakhir itu saya isi dengan menggunakan sebaik-baiknya fasilitas yang ada dalam benda mutakhir itu. Setelah dipikir-pikir, tindakan menghabiskan waktu dengan telepon seluler itu ternyata konyol, dan membuat saya lebih individualis. Meskipun ingin mengurangi kebiasaan itu, rasanya sulit sekali, bahkan memikirkan untuk hidup tanpa benda yang satu itu bagaikan orang yang buta dan tuli, bingung dan tidak tahu mau berbuat apa.

Selama menunggu bis berangkat dari sekolah, saya berusaha untuk menghibur diri dan menenangkan jantung berdebar yang tidak kunjung henti. Mulai dari berkeliling melihat-lihat persiapan teman-teman lain, melongok ke berbagai tempat di sekolah, dan meramaikan antrian pengambilan kaos live-in di kelas XI IPS 2. Namun, semua tindakan itu tidak bisa membendung segala pikiran buruk yang datang. Ketakutan dan kecemasan tidak lagi datang dan menguasai pikiran, tapi muncul sedikit demi sedikit, menggerogoti perlahan apa yang sudah saya perbuat untuk menghalau kecemasan. Ini menyiksa batin saya tanpa berkesudahan. Ingin sekali rasanya berpaling dan berkata,”Aku takkan pergi.” Tapi jelas itu tidak mungkin.

Teman sebangku yang menyenangkan merupakan salah satu solusi terbaik yang saya pikirkan. Raissa, teman saat LDK merupakan teman sebangku yang baik. Kami bisa mengobrol dengan santai, mendiskusikan berbagai permasalahan dan saling bertukar pikiran. Selain itu, mereka yang duduk di sekitar bangku kami sangat-sangat bisa menghalau semua kecemasan dan pikiran buruk. Satu-satunya hal yang tetap mengganjal adalah bagaimana kalau tiba-tiba harus ke toilet di tengah-tengah perjalanan. Untunglah guru pendamping dan pengemudi berbelas kasih kepada mereka yang butuh ke toilet. Jadi, bisa dibilang itu bukan masalah.

Sepanjang perjalanan, semua kecemasan yang tadi bermain-main dalam benak saya mendadak merembes keluar dan penuh dipenuhi dengan keceriaan. Yang terdengar dari bangku barisan depan hanyalah teriakan dan tawa Indah Nainggolan, ditingkahi dengan tawa histeris orang-orang di sekitarnya. Ternyata, tawa bisa menghapuskan segala duka yang saya rasakan, dan saya sadar bahwa sungguh tidak enak untuk menyimpan masalah yang kita miliki sendiri, dan menghabiskan waktu berkutat dengan masalah itu. Lebih baik jika melupakannya sejenak untuk mengistirahatkan pikiran, sehingga bisa menemukan jalan keluar yang terbaik.

Di suatu titik kemacetan akibat banjir, kalau tidak salah di Kendal, banjir menyebabkan semua barang yang diletakkan di bagasi harus masuk ke kabin. Semua siswa bekerja sama untuk memindahkan tas, koper, dan carrier dari barisan depan ke tengah-tengah kabin. Kerja sama sungguhlah indah. Semua orang melakukan pekerjaan dengan rendah hati, sehingga tujuan atas pekerjaan itu dapat tercapai. Waktu terus berlalu. Matahari yang tenggelam telah terbit lagi, semakin meninggi, namun kita tak kunjung sampai ke Paroki St. Yusuf, Baturetno. Rencana sampai pukul tujuh pagi, namun rombongan baru sampai pukul 10.15, keterlambatan yang cukup ekstrim.

Singkat kata, dilakukan pembagian wilayah dan kendaraan. Kendaraan untuk mencapai wilayah Kwangen Mateus, tempat live-in saya adalah minibus, yang merupakan alat transportasi yang lumrah di daerah sana. Semua barang-barang yang besar diletakkan di atap bis, sementara orang-orang duduk bagaikan sarden dalam kaleng di dalam kabin. Bis berjalan dan berguncang, menyebabkan seolah-olah semua syaraf di kaki saya tidak berfungsi lagi. Saya bersyukur ketika sampai di tempat tujuan, dan barang-barang diturunkan. Tinggal menunggu anggota keluarga angkat yang menjemput, dan kegiatan live-in resmi dimulai.

Saya ditempatkan serumah dengan Ilyas, siswa dari kelas XI IPS 1. Sebelumnya, saya hanya sekadar tahu bahwa itu Ilyas, titik. Tidak ada hal-hal lain yang saya ketahui. Demikian juga dengan dia, bahwa dia sekadar tahu bahwa saya Bayu. Tidak lebih. Live-in membuat saya menambah relasi dengan teman-teman satu angkatan yang belum saya kenal sebelumnya. Sungguh tindakan bijaksana dari Moderator, sehingga para siswa bisa berelasi dengan siswa lain yang mungkin belum dikenal, sehingga mempererat persaudaraan sebagai siswa Gonzaga.

Keluarga angkat saya adalah keluarga Bapak Sukimin, salah seorang warga yang cukup berumur di wilayah Kwangen. Yang menjemput saya dan Ilyas pada waktu itu adalah Ibu Tini, yang merupakan istrinya. Ibu tampak antusias menyambut kedatangan kami. Diceritakannya betapa senangnya ia menerima peserta live-in lagi. Rupanya, keluarga ini sudah biasa menerima kedatangan peserta live-in dari berbagai sekolah. Saya berpikir, bahwa masyarakat desa sangatlah rendah hati. Mereka mau menerima dengan tangan terbuka orang asing seperti saya dan Ilyas. Kerendahan hati juga ditunjukkan dengan keramahan yang diberikan ketika kami sampai di rumah.

Inilah saat-saat yang mengejutkan, betapa semua kecemasan saya runtuh menjadi puing-puing yang lagi berbentuk. Apa pasal? Kamar mandi untuk kami ada di dalam kamar saya dengan Ilyas. Rumahnya juga berdinding bata, dan tidak perlu mencari kayu bakar sebab sudah ada kompor gas. Saya bersyukur sepenuh hati karena ketidaktahuanlah yang menyebabkan saya berpikir macam-macam. Ternyata, keadaan di sini tidak seburuk yang saya bayangkan. Semuanya jauh lebih baik, tanpa ragu saya katakan begitu. Untuk pekerjaan, ternyata bapak bukan seorang petani. Kalaupun bertani, hanya dilakukan di musim kemarau, dan masa panen telah lewat. Bapak hanya berladang selama musim hujan, dan itu juga tidak rutin pergi ke ladang. Perekonomian keluarga ditunjang dari pemasukan para mertua bapak, serta dari anak pertamanya yang menjadi Pastor di Banjarmasin.

Bapak tinggal dengan anak kedua, beserta kedua cucunya. Suami anaknya yang kedua bekerja sebagai pengemudi mobil box yang berpusat di Kudus, dan hanya pulang seminggu dua kali. Meski begitu, anak kedua bapak, mbak Kristin tidak mengeluh. Ia bersyukur betapa suaminya memperoleh pekerjaan yang baik. Tidak harus menjadi buruh kasar atau serabutan. Penghasilannya pasti, dan juga dikirimkan melalui ATM. Ini menunjukkan bahwa perkembangan teknologi juga telah mencapai pelosok Indonesia, yang merupakan hasil dari kinerja pemerintah untuk memperkecil jarak ketertinggalan desa dengan kota-kota besar.

Bagi saya, bukan masalah seperti apa saya harus mengikuti pekerjaan bapak. Toh hanya sekadar berladang, dan sisa waktu akan habis di rumah. Jika sudah siang, saya ikut mertua bapak yang kedua, berjualan bakso khas Wonogiri dan mie ayam di pinggir jalan besar. Warung ini memiliki banyak pelanggan, sebab sebelumnya pernah berjualan keliling. Waktu yang saya habiskan di luar rumah tidaklah banyak. Saya kuatir kalau-kalau dituduh melanggar aturan dengan bepergian tanpa anggota keluarga.

Prinsipnya, tidak sulit untuk beradaptasi dengan kehidupan saya yang baru ini. Mungkin sedikit rumit dalam hal makanan, sebab saya orang yang pilih-pilih. Namun saya mencoba menerima dan cukup sukses beradaptasi. Yang menurut saya konyol adalah, betapa saya baru menyadari ada beras yang kualitasnya lebih rendah dari yang biasa saya makan. Aneh bagi saya melihat nasi yang lembek dengan warna yang agak kemerahan. Karena masih bingung, saya hanya makan sedikit. Saya cemas dengan rasa yang timbul di mulut karena nasi yang saya makan tadi. Sehingga selera makan saya lekas lenyap dari rongga kerongkongan saya.

Suatu kenyataan menampar saya begitu kerasnya, saat melihat teman serumah saya bisa dnegan mudahnya mendekat dan mengambil hati kedua cucu bapak. Yang lebih tua bernama Aldo, anak berumur tujuh tahun, sedang adiknya Ayu, masih dalam buaian ibunya. Teman saya itu seolah-olah tahu betul bagaimana cara mengambil hati keduanya, dan tampak nyaman karenanya. Sementara saya? Melihatnya, timbul rasa yang aneh dalam batin saya. Iri. Tidak pernah saya merasakan iri yang sedemikian besarnya dalam hati saya. Saya sudah biasa dengan pujian dan tatapan iri yang dilontarkan beberapa orang yang mengenal saya. Tapi, jika saya yang merasa iri? Hati saya bagaikan dicabik dengan sembilu.

Jujur, saya menangis di dalam hati, namun dengan senyuman manis tetap terukir di bibir saya. Saya tidak tahu apa yang harus diperbuat, atau bagaimana cara menghilangkan rasa iri hati itu. Saya melihat bagaimana teman saya tersenyum kepada anak kecil itu. Senyum itu sedemikian tulusnya, sampai hati saya hancur berkeping-keping. Senyuman yang mengembang di bibir teman saya membuat semua kebaikan yang buat seakan-akan tidak tulus. Jika dideskripsikan, saya hanya sekadar melakukan ‘kebaikan hati’, sementara dia melakukan ‘kebajikan’. Sekalipun merupakan sinonim, ada jurang menganga di antara kedua kata tersebut. Saya merasa terkucilkan dari kehidupan. Hanya raga saya yang di sana, tapi tidak dengan pikiran dan hati saya.

Seketika, timbul rasa dendam dalam hati saya, sementara teman saya itu tidak menyadarinya, apalagi mengetahuinya. Saya tunjukkan betapa manisnya tutur-kata saya dan sikap saya dalam menghormatinya. Kenyataannya, saya membencinya setengah mati saat itu. Saya ingin dia hancur karena suatu perbuatan saya, dan tidak ingin dia bisa kembali utuh seperti semula. Tapi, melihat sikapnya yang sedemikian santai, ramah, dan terbuka kepada saya. Saya mempertanyakan lagi keinginan saya untuk menghancurkannya. Itu jahat, bahkan amat sangat jahat. Saya kira, ketidaktulusan saya sudah merupakan kejahatan besar. Tidak harus menambah daftar kejahatan saya dengan menghancurkan orang lain.

Malam kedua dan terakhir, saya bertukar pikiran dengannya. Kami menceritakan latar belakang keluarga kami. Dari situ, saya tahu bahwa ia adalah anak keempat dari tujuh bersaudara, dan adiknya yang paling kecil kelas dua SD. Jika dipikir secara rasional, dari situlah ia memahami cara-cara untuk berempati kepada orang lain dan berbelas kasih. Namun, saya menolak pikiran itu, dan rasa iri itu membuncah. Mengapa ia bisa dan saya tidak? Ia bersikap bahwa di antara saya dan dia tidak ada masalah, dan ia tidak mengetahui apa yang saya sembunyikan dari dia. Saat mencoba untuk melakukan hal yang sama dengan yang diperbuatnya, bagi saya itu masalah. Hasilnya tidak mungkin sama untuk suatu perbuatan identik yang diperbuat oleh orang dengan kepribadian berbeda. Sulit rasanya untuk berempati, memperhatikan apa yang dibutuhkan orang lain. Saya selalu menanyakan apa alasannya saya harus berempati, jika masuk akal, saya akan melakukannya, jika tidak, maka lupakanlah.

Saya merasa selama tiga hari tidur, pikiran saya tidak tenang. Saya sepertinya menyadari kalau saya mencoba untuk mencakari wajah saya sendiri selama tidur, betapa saya selalu tenggelam dalam doa-doa saya, dan semuanya sia-sia saat saya hendak tidur. Hati saya menangis dan menjerit, padahal saya hanya melihat kebaikan yang ditunjukkan seseorang. Saya menertawakan diri saya sendiri atas ketidakmampuan saya, saat saya mengingat kalimat dalam salah satu epos yang mengatakan bahwa iri adalah suatu hal yang aneh, terutama jika iri itu timbul atas kebaikan orang lain.

Sepanjang hari ketiga, saya merasa kegiatan live-in saya sudah tidak berguna. Makan dan minum serasa hambar. Saya semakin larut dalam pedihnya kesedihan, sekalipun raut muka dan tutur kata hampir-hampir tidak terpengaruh. Pada malam harinya, saya tidak bisa menahan diri untuk berkata,”Ilyas, tahukah kau bahwa aku iri padamu?” Tanggapan yang keluar dari mulutnya santai, tidak mempermasalahkan rasa iri itu. Jelas itu bukan karena ia sombong. Ia rendah hati, rasa iri orang lain kepada dirinya dianggapnya sebagai anugerah, dan berusahalah ia menularkan kerendahan hati itu kepada orang tersebut. Saya katakan kepadanya, bahwa saya umpamakan diri saya seperti sebuah belati yang diukir cantik. Secantik apapun belati itu, ia tetap bisa membunuh. Ia menanggapi dengan mengatakan bahwa belati cantik itupun bisa patah.

Saya tersadar dan merasakan, bahwa saya-lah belati cantik yang patah itu.

Dari hasil tukar-pikiran yang kami berdua lakukan saat malam kedua dan terakhir, saya menyadari, bahwa kebaikan yang saya tunjukkan tidak sepenuhnya tulus, sekadar menjalankan tugas, tanpa niatan lain. Hati saya sedemikian dinginnya, sampai mati rasa. Tidak mau berbagi kepada orang lain. Dalam hidup, saya menyadari bahwa saya selalu berpikir dari sisi ‘aku’, tanpa memperhatikan sisi yang lainnya. Selama dua hari itu, saya sepertinya tenggelam dalam situasi terlalu mengasihani diri saya sendiri. Pendek kata, saya bersedih untuk diri saya sendiri atas suatu ketulusan, kerendahan hati yang saya sadari bahwa saya hampir tidak memilikinya sama sekali.

Setelah perpisahan yang cukup menyentuh, kami pulang. Kini, timbul perasaan yang aneh terhadap teman serumah saya itu. Saya menyayangi dia sebagai sahabat, sekaligus kakak yang telah mengajarkan dan menjadi teladan saya atas nilai-nilai sosial. Saya ingin menjadi sahabat terdekatnya, namun saya takut, kalau rasa iri menguasai hati saya lagi maka saya akan menghancurkannya cukup dengan sekali pukul atas setumpuk duka dan rasa iri yang saya miliki.

----------------------------------------
*Cap tiga jari*
lidah.cabang.dua

Refleksi [Curhatan] Live-In part. 1

Apakah anda pernah mendengar istilah 'Live-In'? Bagi yang menempuh pendidikan di sekolah Katholik mungkin paham apa istilah Live-in ini. Live-in adalah program sekolah yang konon bisa membuat kita lebih paham, memaknai betapa masih besarnya jurang perbedaan serta kesenjangan sosial antara masyarakat kota dan desa.

Well, di sini bukan deskrip semacam apa kehidupan orang-orang di sana, itu terlalu dangkal, Cherie. Isinya, yah, bisa anda katakan 'konyol', 'tidak penting', 'sampah', dan sinonim kata lainnya yang bermakna 'tidak-berguna' Anda mungkin tahu orang semacam apa saya ini, si jahat, si keji, orang paling 'tega-an', tidak ber-hati nurani, dan sebutkanlah sejuta konotasi negatif untuk saya ini.

Yah, bagi saya (tentu saja), saya sempurna seperti diciptakan-Nya.
~Ganti signtaure, BTW :D

Part 1 cerita Live-In.

Pikiran-pikiran: ‘Bagaimana kalau … ?’

Yang muncul sebelum pelaksanaan Live-In

Live-In, sebuah acara tahunan yang digagas oleh moderator SMA Gonzaga bagi seluruh siswa-siswi kelas XI kini akan diadakan bagi angkatan 21. Pertama kali mendengar kata “Live-In”, timbul dalam benak saya sejuta pertanyaan bagaimana pelaksanaan acara itu nanti. Kuatir dan cemas, itu yang memenuhi benak saya tiap mendengar frase di atas. Kuatir dan cemas karena apa? Kalau boleh jujur, itu adalah pertanyaan klise yang pernah muncul dalam benak saya. Tentu saja cemas tentang keadaan di sana, kehidupan baru yang belum pernah saya rasakan di sana, dan lain sebagainya.

Saya yang hidup di tengah-tengah masyarakat kota, dimana terlahir sebagai anak tunggal di keluarga yang berkecukupan. Bisa jadi saya justru merasa terkejut, dan kemudian menjadi tidak berdaya saat menghadapi kegiatan-kegiatan live-in nanti. Timbul perasaan tambahan, yakni takut. Takut akan segala hal yang berkaitan dengan live-in, serta perasaan malas yang datang bagai air bah. Setiap membaca kata-kata “Live-In” di kalender pendidikan, mood saya bisa berubah drastis menjadi jelek. Perubahan mood itu berpengaruh kepada sisa kehidupan saya sepanjang hari itu. Di suatu saat menjadi emosional, dan di lain waktu menjadi pendiam dan menolak untuk berbagi perasaan dengan siapapun.

Live-In sudah menjadi sedemikian momok bagi saya. Sudah timbul beberapa ide, bagaimana caranya agar saya bisa ‘melarikan diri’ dari kegiatan tersebut. Bagaimanapun juga, live-in itu harus tetap saya jalani, dan niat untuk kabur itu dikubur dalam-dalam, setelah saya mengetahui ada salah satu siswa yang juga mencoba minta izin dari live-in tidak diperbolehkan oleh Moderator. Saya melihat dan mendengar kejadian itu di depan mata saya, maka saya menyimpulkan bahwa tindakan apapun untuk izin dari kegiatan itu tidak akan membuahkan hasil apapun. Perasaan-perasaan saya juga menjadi sia-sia, sebab bagaimanapun juga saya akan menginjakkan kaki dan merasakan sendiri kegiatan live-in yang pasti berbeda 180o dengan kehidupan saya sehari-hari.

Jauh-jauh hari, saya sudah memikirkan cara-cara untuk mengantisipasi kegiatan live-in yang akan dijalani. Mungkin saya tidak cocok dengan makanannya, maka saya akan membawa makanan-makanan praktis dari rumah. Lalu, jika keadaan rumahnya seperti ini dan itu, saya mempersiapkan antisipasi untuk setiap keadaan itu. Pendek kata, setiap pertanyaan yang dimulai dengan frase ‘Bagaimana kalau … ?’ saya akan mempersiapkan segala hal untuk mengantisipasinya dan memperkecil dampak negatif yang mungkin timbul. Pikiran-pikiran negatif tidak henti-hentinya timbul di otak saya. Jika dibuat sebuah catatan yang berisi pikiran-pikiran negatif itu, mungkin akan menghabiskan satu halaman kertas folio.

Hari berganti, semakin lama semakin mendekati hari-hari pelaksanaan live-in. Hati saya seolah-olah tenggelam dalam rasa kuatir yang sedemikian besarnya, sehingga perasaan gembira seperti apapun yang coba saya tanamkan ke dalam pikiran saya seolah-olah larut oleh cairan kekuatiran yang sedemikian pekatnya, dan sama sekali tidak membantu menghilangkan rasa cemas ini. Animo yang sedemikian hebatnya membuat saya semakin menghindari topik pembicaraan seputar live-in. Tiap kali ada yang membicarakannya, hati saya menjadi tidak karuan, dan memilih untuk menutup telinga serta pergi menjauh sebelum perasaan saya menjadi kacau balau.

Alangkah tidak beruntungnya saya, sebab salah satu guru yang sangat rajin masuk ke kelas XI IPA 1 terus-menerus menceritakan prosedur yang telah dipersiapkan untuk acara live-in nanti. Mulai dari rencana pembagian teman serumah, alat transportasi di sana, pengalaman-pengalaman live-in dari tahun ke tahun, dan sebagainya. Aturan untuk tidak membawa kamera bukan masalah bagi saya, tetapi untuk tidak membawa telepon selular? Aturan itu bagaikan petir yang menyambar dan meluluhlantakkan pikiran saya. Itu kedengaran konyol sekali. Pikiran untuk ‘menyelipkan’ telepon selular muncul. Tapi mengingat itu adalah aturan, maka percuma saja. Upaya untuk melanggarnya hanya akan berbuah bencana bagi saya. Maka mengiyakan aturan itu, meski dengan berat hati menjadi opsi satu-satunya dan yang terbaik untuk dilaksanakan.

Suatu hari, siswa-siswi kelas XI diwajibkan untuk berkumpul di Aula Seminari sepulang sekolah untuk pembekalan kegiatan live-in. Konon, tujuan diadakannya pembekalan ini adalah mempersiapkan peserta live-in agar mampu dan siap untuk terjun di masyarakat dengan lebih baik. Kenyataannya, saat acara ini diumumkan saya bagai mendengar kutukan yang dilontarkan tepat di depan batang hidung saya. Ingin rasanya berlari menjauh dari kompleks sekolah seketika. Seakan-akan muncul rantai-rantai yang membelit kaki saya dan menyeretnya ke Aula Seminari. Di sana, sudah dipersiapkan dua layar proyektor, berikut file presentasi berisi rekaman singkat kegiatan live-in tahun lalu. Dalam dokumentasi yang ditunjukkan dalam presentasi, seolah-olah semuanya berjalan dengan lancar dan menyenangkan. Itu kan tahun lalu. Kalau nanti, bagaimana? Pikiran-pikiran semacam itu tidak henti-henti muncul dalam otak saya.

Kertas berisi persiapan yang perlu dibawa sudah diedarkan, dan sekali lagi mata saya terpaku pada larangan untuk membawa telepon selular yang saya anggap nista dan tidak perlu itu. Properti-properti tambahan seperti jas hujan dan sepatu bot ternyata juga harus dibawa. Menyulitkan, bukan? Bisa dibayangkan akan seperti apa bentuk koper saya nanti, dan berapa beratnya kalau-kalau harus dijinjing melintasi pematang sawah.

Oh, tutup mulut, Bayu. Bersiap-siaplah untuk live-in nanti.

----------------------------------

*Cap tiga jari*
lidah.cabang.dua