Kamis, 22 Oktober 2009

Catatan Seorang Kadi

Ia memang hanya bisa duduk.
Telinganya lebih sering digunakan daripada lidahnya, begitu pula hatinya.
Orang bilang, ia sudah melihat banyak hal.

Oh, hendaknya ada yang berbuat serong di sana, pada jam itu.
Waktu yang diperlukannya hanya sepintas,
kemudian sebuah palu membentur landasannya.

Lain waktu, hanya sekadar permasalahan kecil,
namun khalayak menyorongkan ke depan hidungnya.
Mereka gila, menyetarakannya laksana piala darah Kristus.
Apakah masalah itu sebuah sebuah pertanda pengakuan dosa?
Ini lebih mudah lagi. Palu itu membentur pada landasannya.

Pernahkah kalian terpikir:
bagaimana kalau Sang Kadi yang tertelan perkara?
Oh, jangan sekali-kali kau harap orang-orang menyelesaikannya.
Mereka bahkan berkata,"Siapa pula Kadi seorang ni?"
"Dan mengapa ia harus datang pada kita tentang masalah dirinya?"

Barangkali, lidah seorang Kadi harus bersih daripada kutuk.
Tapi maafkanlah, ia kini melaknat.

Ai, malang nian Sang Kadi.
Dan orang-orang, bukalah mata kalian?
Tidakkah kalian sadar, bahwa Sang Kadi ini manusia pula?

Malangnya! Orang-orang sungguh telah dibutakan.

Perkenanlah ia di sini sekarang, untuk memohon:
"Ingin rasanya patik dengar bunyi palu untuk patik barang sebuah!"

Palu itu menghantam godamnya
Tidak ubahnya tapak kuda pada ladamnya.
Yang ini tanpa bunga api, sungguhlah.

Oh, haruskah ia muncul pada yang fana?

Syahdan, terselesaikan dengan 'tidak'.
Sang Kadi mendendangkan palu untuk dirinya sendiri.

Wahai Kadi, adakah engkau ini merasakan luka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar